Komunikasi Politik


Sebelum kita membahas apa itu Komunikasi Politik, kita harus tahu dulu, bahwa Komunikasi Politik, terdiri dari dua kata, yaitu Komunikasi dan Politik. Komunikasi adalah suatu proses penyampaian pesan, dari komunikator kepada komunikan, melalui media untuk mendapatkan efek yang diharapkan. Sementara Politik, adalah politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat. Jadi, komunikasi politik adalah penyampaian pesan (berisikan unsur-unsur poltik) dari komunikator (pemerintah) kepada komunikan (masyarakat) melalui media.
Dalam komunikasi politik, terdapat teori-teori dasar,  yang berasal dari beberapa tokoh. Teori-teori tersebut, terbagi sebagai berikut:
1. Teori Komunikasi Politik - Teori Jarum Hipodermik (Hypodermic Needle Theory)
Asumsi dasar dari teori komunikasi politik ini adalah khalayak tidak berdaya, sedangkan media perkasa. Teori komunikasi politik ini biasa juga disebut dengan nama teori Sabuk Transmisi (Transmission Belt Theory) atau teori Peluru (the bullet theory of communication).
Teori komunikasi politik ini menjelaskan bahwa komunikator politik (politisi, aktifis, professional, dan lain-lain) menganggap seluruh pesan politik dalam bentuk apapun yang disampaikan kepada masyarakat, terutama lewat media massa, pasti akan mengakibatkan efek positif (seperti citra yang baik, penerimaan, dan dukungan). Jadi, teori komunikasi politik ini sangat mementingkan media. Tokoh-tokoh dari teori komunikasi politik ini adalah Wilbur Schramm, Everett M. Rogers dan Shoemaker.
2. Teori Komunikasi Politik - Teori Khalayak Kepala Batu (The Obstinate Audience Theory)
Teori Khalayak Kepala Batu (The Obstinate Audience Theory) adalah teori komunikasi politik yang mengkritik teori peluru. Teori komunikasi politik ini juga tidak percaya bahwa khalayak passif serta dungu tidak bisa melawan keperkasaan media. Asumsi dasar dari teori komunikasi politik ini adalah masyarakat umum justru begitu berdaya dan tidak pasif sama sekali dalam proses komunikasi politik. Masyarakat pun mempunyai kekuatan menangkap dan menyerap semua terpaan pesan yang ditujukan kepada mereka.
Komunikasi adalah transaksi, di mana pesan yang masuk akan disaring, diseleksi, lalu diterima ataupun ditolak melalui filter konseptual. Sementara itu, fokus pengamatannya, terutama ditujukan kepada komunikan (masyarakat) melalui pendekatan psikologi serta pendekatan sosiologi. Tokoh-tokoh dari teori komunikasi politik ini adalah L.A. Richard (1936), Raymond Bauer (1964), Schramm dan Robert (1977).
Teori komunikasi politik ini juga didukung oleh model uses and gratification (guna dan kepuasan) dari Elihu Katz, Jay G. Blumler & Michael Gurevitch (1974). Kedua tokoh ini mengatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang rasional, aktif, dinamis, dan selektif terhadap seluruh pengaruh yang berasal dari luar diri manusia. Dalam hal ini, aspek kegunaan dan kepuasan bagi diri pribadi menjadi bahan pertimbangan dalam pilihan khalayak.
3. Teori Komunikasi Politik - Teori Empati dan Teori Homofili
Teori komunikasi politik ini beranggapan bahwa komunikasi politik akan berhasil,  jika sukes memproyeksikan diri ke dalam sudut pandang orang lain. Hal ini erat sekali hubungannya dengan citra diri si komunikator politik dalam menyesuaikan suasana pikirannya dengan alam pikiran masyarakat. Teori komunikasi politik ini juga mengatakan bahwa komunikasi yang dibangun atas kesamaan (homofili) akan lebih lancear dan efektif daripada didasarkan oleh ketidaksamaan (derajat, usia, ras, agama, ideologi, visi dan misi, simbol politik, doktrin politik, dan lain-lain).
          Komunikasi Politik, mencangkup beberapa komponen-komponen, yaitu:
1.     Lembaga-lembaga politik dalam aspek-aspek komunikasinya
2.     Institusi-institusi media dalam aspek-aspek politiknya
3.     Orientasi khalayak terhadap komunikasi politik
4.     Aspek-aspek budaya politik yang relevan dengan komunikasi. (Gurevitch dan Blumler)

Dalam pelaksanaannya, Komunikasi Politik memiliki beberapa pola, yaitu:
1.     Pola komunikasi vertikal (top down, dari pemimpin kepada yang dipimpin)
2.     Pola komunikasi horizontal (antara individu dengan individu, kelompok dengan kelompok)
3.     Pola komunikasi formal (komunikasi melalui jalur-jalur organisasi formal)
4.     Pola komunikasi informal ( komunikasi melalui pertemuan atau tatap muka, tidak mengikuti prosedur atau jalur-jalur organisasi).


Daftar Pustaka:


Komentar

Postingan Populer